Pekan lalu, di titik tertentu, tampaknya penguatan mata uang yang meluas terhadap greenback yang terdepresiasi akan terjadi. Namun, the greenback berhasil memulihkan sebagian besar pelemahannya dalam beberapa pasangan mata uang.

Sementara itu, menurut John Hardy, analis Saxo Bank, pembalikkan saat ini tidak perlu dipedulikan, meski banyak orang yakin pada penguatan taktis posisi dolar lebih lanjut dalam pasangan mata uang yang berkembang di level kunci, contohnya, USD/CAD.

"Selain itu, kami memiliki contoh lain dari gagalnya usaha USD untuk meneruskan langkah berkelanjutan setelah dimulainya satu agenda penting. Kasus pertama tahun ini adalah usaha pasangan EUR/USD untuk naik ke atas titik 1,15, saat the Fed mengubah arah menjadi dovish. Hal ini diikuti oleh pelemahan kebijakan ECB, yang pada gilirannya tidak dapat menyebabkan penembusan yang berkelanjutan ke bawah level 1,12", – ujar ahli tersebut.

"Namun, jika kita lihat lebih luas (dalam jangka menengah dan panjang), mengapa dolar menguat? The Fed dengan cepat telah berpindah ke posisi yang lebih "lunak", dan efek positif reformasi Donald Trump bagi perekonomian AS dan dolar akan sia-sia tahun ini", dirinya menambahkan.

Jumat lalu, sinyal mengkhawatirkan bagi pasar diberikan oleh kurva imbal hasil obligasi negara AS, yang berbalik untuk pertama kalinya dalam 12 tahun. Mengingat pergolakan kurva terjadi saat imbal hasil obligasi jangka panjang lebih sedikit dari jangka pendek. Perlu dicatat bahwa lebih dari 50 tahun terakhir, indikator ini dengan akurat memprediksi resesi mendatang di Amerika Serikat, yang terjadi rata-rata 311 hari setelah pembalikan kurva terjadi. Setidaknya, hal tersebut telah terjadi pada tahun 1990, 2001, dan 2008. Kemungkinan sejarah akan terulang, terutama karena perekonomian global tengah melambat. Eropa benar-benar di ambang resesi, dan PDB China berkembang pada tingkat paling lambat dalam beberapa dekade terakhir.

Seringnya, resesi di Amerika Serikat diikuti oleh krisis ekonomi global.

Di satu sisi, dalam kasus ini, the Fed setidaknya memiliki ruang untuk melakukan manuver, tidak seperti ECB atau Bank of Japan, yang masih menggunakan semua insentif yang mungkin.

Di sisi lain, menurut J. Hardy, Amerika Serikat adalah negara defisit yang memerlukan pendanaan konstan, dan saat bank sentral AS memiliki lebih banyak ruang untuk menurunkan suku bunga dan menggurangi kebijakan pengetatan kuantitatif, potensi pelemahan dolar meningkat.

Menurut Kementerian Kauangan, defisit anggaran negara AS meningkat 8,7% menjadi $233,977 miliar pada Februari 2019. Ini adalah rekor indikator bulanan neraca negatif selama seluruh periode penyelesaian. Titik tertinggi sebelumnya tercatat pada Februari 2012 ($231,7 miliar).

"Diperkirakan dolar lemah yang stabil akan diminati saat kita melalui periode sulit, yang harus dilalui AS dan negara-negara di dunia. Dalam dua tahun ke depan, para investor USD kemungkinan besar akan menghadapi jalan dengan banyak lubang", J. Hardly menyatakan.